Part 8: Maaf Sayang.

Peserta startup yang lolos 25 besar telah diumumkan pada tanggal 15 November. Kami mendapat informasi bahwa 22-25 November seluruh peserta yang lolos akan melakukan camp Startup di Batam. Itu berarti hanya 7 hari kami mempersiapkan diri sebelum berangkat untuk bersaing dengan 24 startup lainnya.

Babak final di depan mata, saya yang sebelumnya tidak sempat menemani Supersquad Academy camp startup di Jakarta, membuat saya berpikir:

Besok final!
Apapun keadaannya, Aku harus sama Supersquad Academy di Batam!

Saya, Mas Dhanang, dan Arsya berencana untuk berangkat ke Batam, membawa nama UNESA, menyaingkan Supersquad Academy dengan 24 startup lainnya.

Namun, lagi-lagi, semesta berkata lain.

Tanggal 23-24 November, saya harus menyelenggarakan upgrading komunitas Warga Lokal, acara yang tak mungkin saya tinggalkan karena sudah dipersiapkan secara matang.

Konflik batin pun terjadi,

Warga lokal komunitas yang benar-benar positif dan sudah menjadi ‘rumah’ keduaku, orang-orang di dalamnya sudah aku anggap sebagai ‘keluarga’, aku menghandle acara upgrading, ga mungkin aku ninggal. Supersquad Academy masuk final, ga mungkin juga lah aku ninggal, kemarin di Jakarta udah aku tinggal, masa’ ninggal lagi?

Di saat itu lah saya harus mengambil keputusan,
yang lagi-lagi,
melukai perasaan saya.

Beberapa hari sebelum berangkat, saya bertemu Mas Dhanang dan Arsya, memberitahu mereka kondisi yang ada, lalu mengucapkan maaf, karena tak bisa menemani ke Batam.

Mas Dhanang dan Arsya pun merasa keberatan.
Namun bagaimana lagi, keadaan benar-benar tidak memungkinkan. Tanggung jawab di warga lokal tidak mungkin saya tinggalkan. Saya hanya berharap Supersquad Academy memenangkan “pertarungan” untuk masuk ke 5 besar nanti di Batam walau tanpa ada saya di sana.

Mas Dhanang dan Arsya pun meyakinkan kepada saya bahwa semua akan baik-baik saja. Saya pun seketika tenang.

Namun jujur, jika sebelumnya saya merasa kecewa terberat dalam hidup karena tak mampu menemani platform kesayangan beradu di Jakarta, kali ini saya jauh lebih kecewa dengan diri sendiri.

Babak final yang menjadi akhir dari pertarungan pun, saya tak bisa menemaninya. Sangat berat rasanya melepas platform kesayangan beradu di momen ‘titik darah penghabisan’ dengan platform lain se-lndonesia, tanpa kehadiran saya di sisinya.

Berbagai persiapan pun kami lakukan, saya mempersiapkan materi presentasi, Mas Dhanang dan Arsya menyiapkan perlengkapan dan satu hal terpenting, dana.

Sebagai peserta camp yang terdaftar, Mas Dhanang tidak memiliki masalah yang berarti dalam pendanaan. Namun berbeda dengan Arsya. Mas Dhanang mengusulkan ke rektorat supaya Arsya mendapat dana yang mencukupi selama mengikuti camp di Batam. Namun harapan tidak sesuai realita, pihak kampus tidak menyetujui karena keterbatasan dana.

‘polemik’ kecil pun terjadi..

Mas Dhanang menunjukkan bahwa peserta camp dari kampus lain ada yang membawa lebih dari satu mahasiswa, bahkan membawa dosen pembimbingnya. Apabila Mas Dhanang hanya berangkat sendiri, tanpa adanya partner tim untuk mengisi kekurangan, tentu kecil kemungkinannya untuk menang.

Pihak kampus pun menjelaskan keadaan sejelas mungkin, bahkan Prof Titik, dosen pendamping kami pun juga tidak mendapat persetujuan dari pihak kampus untuk mendampingi karena keterbatasan dana.

Negosiasi yang alot pun terjadi.
Dengan segala pertimbangan, alhamdulillah, akhirnya Arsya mendapat bantuan tiket berangkat. Sedangkan tiket pulang, kami mencari dana mandiri.

Kami pun mencari orang-orang yang mau membantu kami sepenuh hati agar dapat meringankan beban biaya selama mengikuti camp. Alhamdulillah, bantuan kami dapatkan satu demi satu.

Hari berangkat pun tiba.
Sebelum berangkat, saya memberi motivasi ke Mas Dhanang dan Arsya dengan mengingatkan misi yang dibawa Supersquad Academy, yakni menyelamatkan pelajar Indonesia dari pembodohan generasi, dan saya berpesan untuk tidak berhenti berjuang dan berdoa sebelum semuanya berakhir. Mereka pun meyakinkan saya bahwa Supersquad Academy akan baik-baik saja, dan berusaha untuk memberikan yang terbaik.

Namun sekali lagi, rasa kecewa yang berat terhadap diri sendiri tidak bisa hilang.

Untuk kedua kalinya, saya membiarkan Supersquad Academy pergi jauh, dan mempercayakan orang lain untuk menjaganya.

Kekecewaan dan harapan pun bercampur menjadi satu.

Di saat akhir pertarungan pun, aku tak bisa menemaninya.
Semoga pengorbanan ini akan berbuah manis.

 

… bersambung